Derajat seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla ditentukan oleh
ketakwaannya, bukan oleh garis keturunan, warna kulit, status sosialnya
di tengah masyarakat, juga bukan oleh penampilan. Pernyataan ini bisa
kita dapati dalam firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. [al-Hujurât/49:13]
Juga dalam sabda Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه
Barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, maka dia tidak akan dipercepat oleh garis keturunannya [HR Muslim]
Maksudnya, orang yang tidak bersemangat dan tidak giat dalam melakukan
perbuatan taat, maka garis keturunannya yang tinggi tidak akan bisa
mengangkat derajatnya sehingga bisa menyamai orang-orang yang giat
beramal.
Terkait dengan hal di atas, kita akan menyimak perjalanan hidup salah
seorang Sahabat Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang secara
garis keturunan dan penampilan mungkin dipandang sebelah mata oleh
sebagian manusia yang sombong yaitu Bilâl bin Rabâh, seorang bekas budak
yang dibebaskan oleh Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Menurut riwayat yang
paling masyhur, beliau berasal dari Habasyah, sehingga tidak
mengherankan kalau beliau Radhiyallahu anhu berkulit hitam..
TETAP BERTAHAN MESKI DISIKSA
Bilâl bin Rabâh termasuk as-Sâbiqûnal awwaalûn (orang-orang yang
menyatakan keislaman di masa-masa awal dakwah Rasulullâh Shallallahu
alaihi wa sallam ). Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan,
“Orang-orang yang pertama kali menampakkan keislaman mereka ada tujuh
yaitu Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam , Abu Bakar Radhiyallahu
anhu , ‘Ammâr dan Ibunya yaitu Sumayyah, Suhaib, Bilâl dan Miqdâd” [HR
Ibnu Mâjah, hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah].
Ini menunjukkan bahwa Bilâl Radhiyallahu anhu termasuk orang yang
menyatakan keislamannya di awal dakwah Rasulullâh Shallallahu alaihi wa
sallam . Saat mengetahui keislaman Bilâl bin Rabâh Radhiyallahu anhu ,
majikannya yaitu Umayyah bin Khalf berusaha menekan beliau Radhiyallahu
anhu agar kembali kepada keyakinan nenek moyang mereka. Penekanan yang
dilakukan tidak sebatas dengan kata-kata, tapi sampai pada penyiksaan
fisik. Ini juga dialami oleh kaum Muslimin yang berasal berasal dari
para budak, yang tidak memiliki penjamin atau pelindung. Tujuan mereka
satu yaitu mengembalikan para budak ini kepada ajaran nenek moyang dan
menolak dakwah Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam . Dalam lanjutan
ucapan di atas Ibnu Mas'ûd Radhiyallahu anhu menyatakan, “Rasulullâh
Shallallahu alaihi wa sallam dijaga oleh Allah Azza wa Jalla dengan
(perlindungan) paman beliau Abu Thâlib, Abu Bakar dijaga oleh Allah Azza
wa Jalla dengan (penjagaan) kaum beliau, sedangkan selain mereka
berdua, mereka dicengkram oleh orang-orang musyrik dan disiksa."
Siksaan yang dialami oleh para budak yang menyatakan keislaman mereka
sudah tidak terperikan. Sampai-sampai Allah Azza wa Jalla menurunkan
firman-Nya yang berbunyi :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar. [an-Nahl/16:106]
Termasuk siksaan yang dialami Bilâl bin Rabâh Radhiyallahu anhu . Dalam
sebuah riwayat diceritakan bahwa Bilâl Radhiyallahu anhu disiksa dengan
cara dibawa ke padang pasir saat panas membakar, lalu dijemur di sana
sambil ditindih dengan batu besar. Ketika itu Umayyah al-La’in berseru,
“Kamu akan tetap seperti ini sampai mati, atau sampai kamu mengingkari
Muhammad dan (kembali) menyembah al-Lâta dan al 'Uzza?”
Begitu berat siksaan yang dialami Bilal Radhiyallahu anhu . Namun
siksaan ini tidak membuat keimanannya goyah sedikit pun. Ibnu Mas'ûd
Radhiyallahu anhu mengatakan, "Semua para budak yang disiksa terpaksa
mengikuti apa kemauan orang-orang musyrik kecuali Bilâl Radhiyallahu
anhu . Sesungguhnya dia memandang dirinya hina di hadapan Allah Azza wa
Jalla ." Berbagai cara ditempuh untuk melemahkan iman Bilâl, namun tidak
ada satu pun yang berhasil. Amr bin al 'Ash menceritakan, “Aku pernah
melewati Bilâl Radhiyallahu anhu dalam keadaan disiksa di padang pasir.
Seandainya sepotong daging diletakkan di atasnya, pasti daging itu bisa
matang. Ketika itu Bilâl Radhiyallahu anhu mengatakan, "Saya mengingkari
al-Lâta dan Uzza."[1]
Ada juga riwayat lain yang menjelaskan bahwa beliau Radhiyallahu anhu
diikat lehernya lalu digeret oleh anak-anak kaum kafir Quraisy. Meski
demikian, keimanan beliau tidak tergoyahkan. Sampai akhirnya didapati
oleh Abu Bakar Radhiyallahu anhu dalam keadaan disiksa, lalu Beliau
Radhiyallahu anhu membeli Bilâl Radhiyallahu anhu . Dalam hadits yang
shahîh, Bilal Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Bakr Radhiyallahu
anhu :
إِنْ كُنْتَ إِنَّمَا اشْتَرَيْتَنِي لِنَفْسِكَ فَأَمْسِكْنِي وَإِنْ
كُنْتَ إِنَّمَا اشْتَرَيْتَنِي لِلَّهِ فَدَعْنِي وَعَمَلَ اللَّهِ
Jika engkau membeli diriku untuk menjadi milikmu, maka tahanlah aku. Dan
jika engkau membeli diriku karena Allah, maka biarkanlah aku berbuat
karena Allah.[2]
ISTIQOMAH BERBUAH SURGA
Setelah bebas, beliau Radhiyallahu anhu bisa leluasa melakukan ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla , terutama setelah berhijrah ke Madinah.
Beliau Radhiyallahu anhu memiliki suara yang lantang, sehingga
Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam memilih beliau untuk
mengumandangkan adzan pertama kali ketika adzan disyari'atkan. Dan dalam
banyak kesempatan Rasulullâh Shallallahu alaihi wa sallam sering
menyuruh beliau Radhiyallahu anhu untuk mengumandangkan adzan. Itulah
Bilâl bin Rabâh Radhiyallahu anhu , hamba sahaya yang selanjutnya
berubah menjadi Muslim yang taat dan dijanjikan masuk surga. Dalam
sebuah riwayat yang shahîh dinyatakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي
بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ عِنْدَكَ فِي اْلإِسْلاَمِ مَنْفَعَةً
فَإِنِّي سَمِعْتُ اللَّيْلَةَ خَشْفَ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي
الْجَنَّةِ قَالَ بِلاَلٌ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً فِي اْلإِسْلاَمِ أَرْجَى
عِنْدِيْ مَنْفَعَةً مِنْ أَنِّي لاَ أَتَطَهَّرُ طُهُوْرًا تَامًّا فِي
سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ وَلاَ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ
مَا كَتَبَ اللَّهُ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Rasulullâh bersabda kepada Bilâl setelah menunaikan shalat
Subuh, 'Wahai Bilâl, beritahukanlah kepadaku tentang
perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam
Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di
depanku di surga.' Bilâl Radhiyallahu anhu menjawab, 'Tidak ada satu
perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya
dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang
senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap
selesai bersuci dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.' [HR
Muslim]
Ibnu Tîn rahimahullah mengatakan, “Bilal Radhiyallahu anhu meyakini hal
ini karena beliau Radhiyallahu anhu tahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa shalat merupakan amalan yang paling afdhal, dan amalan
yang dilakukan secara rahasia lebih baik daripada amalan yang dilakukan
secara terbuka.'
Tentunya yang dimaksudkan adalah amalan sunat bukan yang wajib.
Itulah buah akhir dari keistiqamahan beliau Radhiyallahu anhu , yaitu
kelak akan dimasukkan ke surga oleh Allah Azza wa Jalla . Semoga kita
bisa mengambil pelajaran dari keteguhan dan keistiqahaman beliau
Radhiyallahu anhu .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ansâbul Asyrâf 1/185. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fî Dhau-il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 188
[2]. Riwayat al-Bukhâri/ Al-Fath (14/249/no. 5537). Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fî Dhau-il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar